Sabtu, 10 April 2010

Kewarganegaraan

Proses penegakan hukum masih menjadi sorotan publik karena nuansa 'tebang pilih' dan money politics (permainan politik uang) masih tetap mewarnai perilaku aparat penegak hukum di Indonesia. Hukum belum menjadi payung bagi rakyat secara umum untuk mendapatkan keadilan. Permainan uang dan tekanan politik bagaikan badai yang sangat kuat untuk menggoyahkan sendi-sendi penegakan hukum, sehingga hukum lebih berpihak kepada dua kekuatan eksternal, uang dan politik.

--------------------------

Melalui tiga fungsi utama, legislasi, anggaran dan kontrol, pimpinan dan anggota legislatif seharusnya mampu memposisikan diri sebagai representasi rakyat untuk mencegah penyimpangan dalam penyelenggaraan birokrasi. Tetapi fungsi tersebut tidak bisa dilakukan akibat godaan uang dan kepentingan politik pragmatis-individualistis. Kondisi ini makin tidak menguntungkan rakyat ketika aparat penegak hukum yang memiliki kewajiban menuntun masyarakat guna mendapatkan keadilan, juga ikut berperilaku menyimpang di tengah tekanan kuat badai politik.

-----------------------

Penegakan Hukum Terancam Badai Politik Oleh I Nyoman Rutha Ady, S.H.

HUKUM dan politik di Indonesia saat ini tidak beda dengan iklim atau cuaca yang sulit diprediksi dan bahkan lebih sering mengalami penyimpangan. Dalam pelaksanaan ketatanegaraan, hukum bahkan lebih sering terancam oleh kepentingan politik, sehingga salah satu amanat reformasi yakni penegakan supremasi hukum makin tidak jelas arahnya.

-------------------------

Dalam konteks penegakan hukum, lembaga tinggi Mahkamah Agung (MA) sebagai rujukan pelaksanaan hukum secara nasional justru melakukan penyimpangan dengan membuka peluang upaya hukum peminjauan kembali (PK) atas keputusan hukum terpidana mati kasus bom Bali I Amrozy dan kawan-kawannya. Betapapun kuatnya tekanan eksternal dalam sebuah proses hukum, MA semestinya tidak membenarkan proses PK di atas PK atau mengajukan PK dua kali atas subjek perkara yang sama.

Ranah Politik

Di ranah politik, berbagai kejanggalan juga dilakukan oleh para wakil rakyat yang duduk di kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pusat. Ketentuan hukum yang menyebutkan pejabat tinggi negara yang diajukan oleh pemerintah harus mendapat persetujuan DPR, ditafsirkan oleh anggota parlemen sebagai peluang untuk melakukan fit and proper test (uji kelayakan dan kepatutan) terhadap calon pejabat negara sebelum diangkat.

Padahal, makna aturan hukum yang menyatakan DPR memberikan persetujuan, hanya sebatas menyetujui salah satu dari beberapa calon pejabat negara yang diajukan oleh eksekutif. Fenomena penolakan oleh beberapa fraksi di DPR atas dua orang kandidat Gubernur Bank Indonesia (BI) yang diajukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membuktikan betapa rancunya pemahaman hukum yang ditunjukkan lewat perilaku menyimpang para wakil rakyat di parlemen.

Betapapun niat tulus anggota Dewan untuk menetapkan calon pejabat tinggi negara melalui uji kelayakan dan kepatutan, pada dasarnya hal itu telah melampui makna peraturan perundang-undangan. Bisa ditebak, calon pejabat tinggi yang tidak memiliki akses di institusi parlemen, 'polos' dan 'lugu' dalam berpolitik, pasti akan terlempar dari gedung DPR alias sulit lolos untuk mendapatkan persetujuan. Padahal kualitas, kredibilitas serta kapabilitas calon tersebut untuk menempati jabatannya cukup memadai untuk disetujui.

Proses penegakan hukum masih menjadi sorotan publik karena nuansa 'tebang pilih' dan money politics (permainan politik uang) masih tetap mewarnai perilaku aparat penegak hukum di Indonesia. Hukum belum menjadi payung bagi rakyat secara umum untuk mendapatkan keadilan. Permainan uang dan tekanan politik bagaikan badai yang sangat kuat untuk menggoyahkan sendi-sendi penegakan hukum, sehingga hukum lebih berpihak kepada dua kekuatan eksternal, uang dan politik.

Rakyat yang strata sosial ekonominya tergolong kaya dengan mudah bisa 'membeli' hukum lewat tangan-tangan penasihat hukum, sementara ironisnya komunitas rakyat yang tidak mampu, digusur dari pemukiman kumuh dan lapak-lapak (kios darurat) tempat berjualan dipinggir jalan atas nama penegakan supremasi hukum. Realitas ini makin menggejala tetapi elite politik yang duduk di kursi empuk lembaga legislatif atas nama rakyat, tidak memiliki kepedulian untuk meluruskan ketidakadilan tersebut.

Perilaku Menyimpang

Aparat birokrasi yang semestinya menjadi contoh panutan bagi rakyat, juga tidak berusaha untuk mengubah paradigma perilaku menyimpang. Korupsi dan penyalahgunaan wewenang justru makin menggurita, mulai dari eselon pejabat lembaga tinggi negara di pusat pemerintahan, sampai ke daerah-daerah propinsi, kabupaten/kota dan pedesaan. Seharusnya lembaga DPR dan DPRD melakukan fungsi kontrol yang efektif terhadap penyelenggaraan pemerintahan di pusat maupun daerah, sehingga kebocoran kas negara dapat dieliminasi.

Melalui tiga fungsi utama, legislasi, anggaran dan kontrol, pimpinan dan anggota legislatif seharusnya mampu memposisikan diri sebagai representasi rakyat untuk mencegah penyimpangan dalam penyelenggaraan birokrasi. Tetapi fungsi tersebut tidak bisa dilakukan akibat godaan uang dan kepentingan politik pragmatis- individualistis. Kondisi ini makin tidak menguntungkan rakyat ketika aparat penegak hukum yang memiliki kewajiban menuntun masyarakat guna mendapatkan keadilan, juga ikut berperilaku menyimpang di tengah tekanan kuat badai politik.

Untuk mencapai cita-cita negara hukum, soliditas aparat negara dan penegak hukum harus terpadu dalam menghadapi guncangan badai politik yang mengatasnamakan rakyat, tetapi faktanya tidak membela kepentingan rakyat. Buktinya rumusan Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum (RUU Pemilu) lebih memperjuangkan kepentingan para elite politik untuk melanggengkan kedudukannya di DPR dan DPRD. Secara hukum tidak tersirat penyerapan aspirasi rakyat, apalagi mengadopsi kepentingan hak rakyat untuk berpolitik secara demokratis.

Contoh budaya politik yang sesuai di indonesia ?

Budaya politik yang paling sesuai dengan kondisi Indoneisa adalah budaya politik dimana insan-insan politiknya mampu merintis lahirnya budaya politik baru dan perilaku politik yang lebih santun dalam negara kita, yang bisa dilakukan dengan suatu landasan pendidikan yang baik. Hal ini disebabkan,karena budaya politik dibentuk dan dikembangkan oleh pelaku politik dan apa yang akan ditentukan oleh pelaku politik sebagai ciri-ciri utama budaya politik mereka sampai batas tertentu, dipengaruhi oleh pendidikan mereka. Jadi hubungan antara budaya politik dan pendidikan bersifat tidak langsung. Ini berarti pendidikan tidak secara final membentuk pelaku politik. Pendidikan memberi dasar-dasar kepada tiap calon pelaku politik. Jika dasar-dasar ini baik dan kokoh, besar kemungkinan (probabilitasnya) akah lahir pelaku-pelaku politik yang baik. Namun, jika dasar-dasar yang diberikan oleh pendidikan jelek dan rapuh, kemungkinan besarnya ialah yang akan muncul di kemudian hari adalah pelaku-pelaku politik yang jelek dan rapuh pula. Berdasarkan generalisasi ini dapat dipahami mengapa perilaku para pelaku politik dari masyarakat dengan sistem pendidikan yang baik berbeda dengan perilaku pelaku politik yang berasal dari masyarakat dengan sistem pendidikan yang kurang memadai. Dalam masyarakat kita, misalnya, para pelaku politik dengan latar belakang pendidikan pesantren yang baik, berbeda perilakunya dari pelaku politik yang datang dari pendidikan pesantren yang kurang terpelihara atau dari latar belakang pendidikan yang berbau aristokrasi dan meritokrasi feodal atau militer.
materi referensi:
Elaorasi mendalam dari pendapat seorang pakar pendidikan, Mochtar Buchori.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar